Zombie Outbreak Di tengah bayang-bayang sejarah pandemi yang mencetak jejak trauma global, dunia kembali diuji. Namun, kali ini bukan oleh virus yang menyerang paru-paru atau menyebabkan demam. Kali ini, ancamannya datang dalam bentuk kenyamanan.
Wabah zombie, yang biasa dipotret sebagai terhentinya seluruh darah dan terjatuh, mengambil rupa yang sangat berbeda di Kota Sunyi sebuah kota futuristik di utara Eropa yang seluruh infrastrukturnya telah sepenuhnya otomatis. Kota ini, yang awalnya dirancang sebagai eksperimen teknologi dan keinginan, menjadi studi kasus pertama tentang bagaimana peradaban menghadapi kehancuran… tanpa satu pun peluru yang ditembakkan.
Wabah Zombie Outbreak
Semuanya dimulai dengan pekerja laboratorium bioteknologi yang mengalami disorientasi ringan, lupa makan, dan tidak tidur selama berhari-hari. Ketika mereka mulai menunjukkan perilaku obsesif terhadap pola berulang dan kehilangan bahasa verbal, tak ada yang mengira bahwa ini adalah tahap awal Neuro-Reactive Syndrome, nama resmi dari penyakit yang belakangan dikenal masyarakat sebagai virus zombie.
Namun tidak seperti dalam film, mereka tidak langsung menyerang. Mereka hanya membalas. Tidak berbicara. Tidak tidur. Hanya berjalan, berputar, atau berdiri mematung di tengah jalan.
Reaksi Masyarakat Diam Adalah Perlawanan
Alih-alih kekhawatiran massal, Kota Sunyi mengaktifkan protokol isolasi otomatis. Dinding transparan dari serat karbon muncul dari persimpangan, memisahkan daerah yang terinfeksi tanpa suara. Drone mengirimkan makanan tetap mengirimkan pasokan kepada warga yang dikarantina. AI pemerintah, yang dikenal sebagai Iris berbicara dengan warga melalui layar kaca dengan suara lembut dan tenang, memberikan instruksi sambil tetap mempertahankan suasana damai.
Evolusi dan Dilema Moral Oleh Zombie Outbreak
Sebulan setelah wabah pertama, peneliti menyadari bahwa otak mereka yang terinfeksi tidak mati. Mereka justru mengalami peningkatan aktivitas pada area memori jangka panjang dan empati. Beberapa bahkan menunjukkan ekspresi emosi saat mendengar lagu masa kecil atau mencium aroma tertentu
Kota Sunyi kini menjadi pusat studi dan etika. Wabah tidak meluas karena masyarakat tidak membalas dengan kekerasan. Para Kaum Hening dibiarkan hidup, ditemani suara musik, wewangian bunga, dan layar-layar interaktif yang mencoba menghubungkan mereka kembali dengan kenangan masa lalu.
Kota Sunyi Peradaban dalam Diam
Ketika video pertama dari Kota Sunyi ditampilkan menampilkan sosok-sosok pucat yang diam termenung di taman, disertai drone pembersih dan layar LED yang memainkan musik klasik reaksi dunia penuh kerumitan. Banyak yang menolak mempercayainya. “Ini hoaks seni, kata sebagian. “Ini eksperimen kontrol sosial, kata lainnya.
Namun setelah PBB dan WHO mengirim tim pengamat, kebenaran menjadi tak terbantahkan. Dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa wabah zombie bisa ditanggulangi..tanpa perang.
Kaum Hening dan Bahasa Baru
Yang paling mengejutkan ilmuwan bukan hanya bahwa Kaum Hening tidak memburuk, tapi justru perkembangan menunjukkan aneh: mereka mulai berkomunikasi, bukan dengan kata, tetapi dengan gerakan mikro dan pola getaran.
Para neurolog menyebut “bahasa bawah sadar” sebuah bentuk komunikasi yang tidak disadari otak sadar manusia biasa. Peneliti dari Kota Sunyi kini menggunakan alat pengindera pola untuk “menerjemahkan” frekuensi langkah, tekanan napas, dan arah mengenali mata mereka.
Dunia di Ambang Oleh Zombie Outbreak
Kota Sunyi kini bukan lagi hanya sebuah kota ia menjadi simbol pergeseran paradigma. Tempat di mana suara bukan satu-satunya bentuk komunikasi. Di mana kemanusiaan diukur bukan dari kemampuan berbicara, tetapi dari kemampuan menerima yang berbeda-beda.
Kebangkitan Spiritualitas Baru
Di sisi lain, komunitas keagamaan di berbagai penjuru dunia mulai menafsirkan fenomena ini melalui kacamata spiritual. Sebagian menyebut Kaum Hening sebagai “generasi yang dibisukan untuk mendengarkan suara Tuhan Yang lain menganggap mereka sebagai makhluk setengah ruhani, bukti bahwa kesadaran tidak selalu membutuhkan suara.
Proyek Harmoni Akhir atau Awal
Para relawan dari seluruh dunia datang untuk hidup berdampingan dengan mereka, belajar berkomunikasi tanpa kata, dan menjalani kehidupan tanpa gangguan sosial. Kamera tidak diizinkan. Tidak ada siaran langsung. Tidak ada konten yang viral. Hanya pengalaman pribadi yang tak bisa diterjemahkan ke dalam media.